Suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melalui sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandungi kata-kata, "Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi lagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati yang belas kasihan yang sudi memberi curahan air walaupun setitik."
Mendengar keluhan itu, Abu Hanifah merasa kasihan, lalu beliau pun pulang ke rumahnya dan mengambil bungkusan hendak diberikan kepada orang itu. Setelah dia sampai ke rumah orang itu, dia terus melemparkan bungkusan yang berisi uang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya.
Si malang berasa terkejut setelah mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui dari mana datangnya, lantas ia tergesa-gesa membukanya. Setelah dibuka, nyatalah bungkusan itu berisi uang dan selembar kertas yang bertulis, "Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu tidak pernah atau perlu mengeluh diperuntungkan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cobalah bermohon kepadaNya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."
Pada keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu dan suara keluhan itu kedengaran lagi, "Ya Allah Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku, wahai nasibku."
Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan selembar kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu terlalu riang ketika mendapat bungkusan itu. Lantas terus membukanya.
Seperti kemarin juga, di dalam bungkusan itu tetap ada selembar kertas lalu dibacanya, "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan, jangan berbuat demikian. Jika ingin senang, harus giat bekerja dan berusaha, karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak perlu atau disuruh duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengkabulkan do'a orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah, carilah segera pekerjaan, saya do'akan semoga berhasil."
Setelah dia selesai membaca surat itu, dia termenung, dia insyaf dan sadar akan kemalasannya yang selama ini dia tidak suka berikhtiar dan berusaha. Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti peraturan-peraturan hidup (Aturan Allah) dan tidak lagi melupakan nasihat orang yang memberikan nasihat itu.
***
Dalam Islam, tidak ada istilah pengangguran, istilah ini hanya digunakan oleh orang yang berakal sempit. Islam mengajarkan kita untuk maju ke hadapan dan bukan mengajar kita terhenti di tepi jalan.
Terapi Jiwa Muslim
Ornamental Salam Message Ticker/
Friday, 27 April 2012
Dua Waktu Tidur Yang Dilarang Rasul
Tidur menjadi sesuatu yang esensi dalam kehidupan kita. Karena dengan tidur, kita menjadi segar kembali. Tubuh yang lelah, urat-urat yang mengerut, dan otot-otot yang dipakai beraktivitas seharian, bisa meremaja lagi dengan melakukan tidur.
Dalam Islam, semua perbuatan bisa menjadi ibadah. Begitu pula tidur, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam Al-Quran, Allah swt pun menyuruh kita untuk tidur. Namun, ternyata ada dua waktu tidur yang dianjurkan oleh Rasulullah untuk tidak dilakukan.
1. Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh
Dari Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Ya Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya” (HR. Abu dawud 3/517, Ibnu Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan sanad shahih).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata :
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang shalih – adalah tidur antara shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga sekali. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).
2. Tidur Sebelum Shalat Isya’
Diriwayatkan dari Abu Barzah radlyallaahu ‘anhu : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya” (HR. Bukhari 568 dan Muslim 647).
Mayoritas hadits-hadits Nabi menerangkan makruhnya tidur sebelum shalat isya’. Oleh sebab itu At-Tirmidzi (1/314) mengatakan : “Mayoritas ahli ilmu menyatakan makruh hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya. Dan sebagian ulama’ lainnya memberi keringanan dalam masalah ini. Abdullah bin Mubarak mengatakan : “Kebanyakan hadits-hadits Nabi melarangnya, sebagian ulama membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di bulan Ramadlan saja.”
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Baari (2/49) : “Di antara para ulama melihat adanya keringanan (yaitu) mengecualikan bila ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan larangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat
Dalam Islam, semua perbuatan bisa menjadi ibadah. Begitu pula tidur, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam Al-Quran, Allah swt pun menyuruh kita untuk tidur. Namun, ternyata ada dua waktu tidur yang dianjurkan oleh Rasulullah untuk tidak dilakukan.
1. Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh
Dari Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Ya Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya” (HR. Abu dawud 3/517, Ibnu Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan sanad shahih).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata :
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang shalih – adalah tidur antara shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga sekali. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).
2. Tidur Sebelum Shalat Isya’
Diriwayatkan dari Abu Barzah radlyallaahu ‘anhu : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya” (HR. Bukhari 568 dan Muslim 647).
Mayoritas hadits-hadits Nabi menerangkan makruhnya tidur sebelum shalat isya’. Oleh sebab itu At-Tirmidzi (1/314) mengatakan : “Mayoritas ahli ilmu menyatakan makruh hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya. Dan sebagian ulama’ lainnya memberi keringanan dalam masalah ini. Abdullah bin Mubarak mengatakan : “Kebanyakan hadits-hadits Nabi melarangnya, sebagian ulama membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di bulan Ramadlan saja.”
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Baari (2/49) : “Di antara para ulama melihat adanya keringanan (yaitu) mengecualikan bila ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan larangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat
KEJAHILAN MEREKA, ASET KITA
Mungkin ramai diantara kita yang merasai menjadi muslim kerana faktor keturunan. Namun pernahkah kita terfikir adakah kita mengamalkan cara hidup islam? Adakah kita selalu bermuhasabah dan bertanya pada diri kita sendiri “Adakah aku seorang individu muslim yang baik?” Tapi pasti ramai diantara kita lebih memilih untuk terus khayal dengan cinta manusia yang merosakkan, atau kita lebih memilih untuk berfikir soal hidup daripada mati. Akhirnya kita menjadi manusia yang jauh dari Ilmu Allah dan tersungkur di lembah kejahilan yang penuh nista. Persoalannya kini, siapakah yang akan menyelamatkan mereka yang hidup dalam dunia bergelumang dosa dan jahil tentang hakikat kehidupan di dunia ini?
Firman Allah:
“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (Surah Adz -Dzariyat, 56)
Hidup ini sebuah perjuangan, dan perjuangan untuk membebaskan saudara seislam kita dari kejahilan merupakan satu jihad yang sangat mulia. Adakah Allah anugerahkan ilmu kepada insan-insan yang fakeh tentang islam hanya bertujuan untuk mengauli “kaki-kaki masjid dan surau”? Adakah ilmu Allah ini terpilih kepada mereka yang mahukan islam ? Ilmu Allah itu tiada batasnya. Menjadi tanggunjawab kita sebagai seorang muslim yang Allah kurniakan sedikit ilmu untuk mendekati golongan-golongan jahil ini.
Firman Allah:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang soleh dan berkata : Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surah Fussilat : 33)
Wahai para daei, adakah daqwah itu hanya semata-mata kalian mengajak mereka yang hanya mahukan islam dan tidak menyantuni mereka yang jauh dari Islam? Adakah ilmu kamu terlalu suci sehingga kamu merasakan terhina apabila berkongsi ilmu dengan penjahil-penjahil ini ? Kenapa kalian tinggalkan penjahil-penjahil ini jauh dibelakang? Mengapa apabila kalian melintasi mereka hanya pandangan sinis yang kalian lontarkan? Adakah penjahil-penjahil ini tiada nilai di sisi Allah? Muhasabah wahai para daei, mujahid dan mujahiddah. Tegar kamu membiarkan saudaramu sedemikian rupa? Terlalu hinakah mereka? Adakah uslub daqwah yang kalian gunakan hanya semata-mata untuk insan yang kalian sangka baik? Jika kamu berfikir sedemikian rupa, betapa kita kini mempunyai para daei yang tiada jiwa ummah.
Percayalah, setiap insan yang Allah ciptakan itu punya nilai disisi Allah. Kejahilan Mereka adalah Aset Kita.
Thursday, 26 April 2012
Cuba laa
696666999999666999999666666966666966666696666666669666696666696
696669999999969999999966669696666966666696666666696966696666696
696666999999999999999666696669666966666696666666966696699999996
696666669999999999996666966666966966666696666669666669696666696
696666666699999999666666999999966966666696666669999999696666696
696666666666999966666666966666966966666696666669666669696666696
696666666666699666666666966666966999999699999969666669696666696
1. highlight ayat di ats
2.CTRL+F
3.Tekan 9 atau 6
2.CTRL+F
3.Tekan 9 atau 6
- peaceout ♥
Subscribe to:
Comments (Atom)